Ilmu Dasar Teknik Sipil
  • HOME
  • Kontak
  • Disclaimer
  • Privacy policy
  • terms of service
  • Home
  • Struktur
    • GEDUNG
    • JEMBATAN
    • JALAN
    • BANGUNAN AIR
  • BAHAN
    • BETON
    • BAJA
    • KAYU
  • PROGRAM
    • SAP 2000
    • AUTOCAD
    • HEC RAS
    • PLAXIS
    • MICROSOFT PROJECT
  • TEKNIK FONDASI
    • FONDASI RUMAH
    • FOOTPLATE
    • BORPILE
  • LAINNYA
    • TEKNIK GEMPA
    • GEOTEKNIK
    • MANAJEMEN
    • MEKANIKA TANAH
  • Daftar Isi

Rabu, 13 Oktober 2021

TAHAPAN DALAM PELAPORAN PEKERJAAN KONSTRUKSI

 TAHAPAN DALAM PELAPORAN PEKERJAAN KONSTRUKSI


Dalam pekerjaan konstruksi, salah satu hal yang penting namun sering diabaikan adalah pelaporan pekerjaan. Pelaporan pekerjaan merupakan bagian dari administrasi pekerjaan konstruksi yang meliputi pelaporan pekerjaan saat pekerjaan sebelum dimulai, selama pekerjaan berlangsung, dan laporan akhir dari suatu pekerjaan. 

Seringkali penyedia jasa, baik konsultan maupun kontraktor tidak memahami alur atau tahapan yang harus dilakukan untuk melengkapi laporan-laporan pekerjaan konstruksi, bahkan ada penyedia yang masih belum tahu apa saja laporan yang harus disediakan yang sebenarnya wajib untuk diserahkan kepada owner/pemilik pekerjaan. Maka pada artikel kali ini, kita akan membahas tahapan atau alur yang benar dalam membuat laporan-laporan pekerjaan kontruksi.

Pihak - pihak yang terlibat dalam suatu pekerjaan konstruksi yaitu diantaranya : 

  • Perencana (Konsultan Perencana)
  • Pelaksana (Kontraktor)
  • Pengawas (Konsultan Pengawas)
  • Direksi Lapangan/Konsultan MK
Tahapan awal sebelum suatu pekerjaan konstruksi dimulai adalah melakukan Pre Construction Meeting (PCM) atau Pra Pelaksanaan Pekerjaan. Dalam rapat ini setiap unsur yang terlibat dalam pekerjaan konstruksi akan mengikuti rapat ini untuk membahas hal-hal penting yang akan dikerjakan atau dilakukan selama pekerjaan sampai selesainya pekerjaan. 

Dalam proses jalannya pekerjaan konstruksi, maka para pihak yang terlibat siap untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya masing-masing dengan penuh rasa tanggung jawab. Berikut ini adalah Diagram alir laporan pelaksanaan yang perlu diikuti oleh setiap pihak. 
 
Gambar 1. Diagram Alir Laporan Pelaksanaan 


Dalam gambar diatas, menjelaskan bahwa setidaknya ada 4 (empat) unsur yang akan terlibat dalam suatu pekerjaan konstruksi khususnya dalam menangani administrasi pelaporan selama pekerjaan sampai dengan selesai pekerjaan. Pihak yang terlibat diantaranya yaitu : 
  • Penyedia Dalam hal ini adalah Kontraktor
  • Pengawas Pekerjaan dalam hal ini adalah Direksi Teknis/Konsultan Pengawas
  • Pengendali Pekerjaan dalam hal ini adalah Direksi Lapangan/Konsultan MK
  • PPK Atau Pejabat Pembuat Komitmen

LANGKAH 1 : 
Penyedia harus memberikan laporan berupa laporan harian, laporan mingguan, dan laporan bulanan kepada Pengendali Pekerjaan dan kemudian laporan tersebut akan diteruskan dari Pengendali Pekerjaan kepada Pengawas Pekerjaan untuk diperiksa/diverifikasi. 

LANGKAH 2 : 
Apabila menurut pengawas pekerjaan laporan tersebut belum benar maka pengawas pekerjaan mempunyai kewenangan untuk menolak laporan tersebut dan meminta kepada penyedia untuk melakukan revisi laporan dan kemudian diajukan kembali kepada Pengendali Pekerjaan. Apabila laporan yang diberikan penyedia kepada pengawas pekerjaan sudah benar setelah dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu, maka laporan tersebut dapat diteruskan kepada Pengendali Pekerjaan untuk disetujui.

LANGKAH 3 :
Pengendali Pekerjaan akan melakukan pemeriksaan sebelum menyetujui laporan-laporan yang diberikan. Apabila menurut Pengendali pekerjaan laporan tersebut belum benar, maka Pengendali Pekerjaan dapat mengembalikan laporan tersebut kepada penyedia untuk direvisi. Namun apabila laporan tersebut sudah benar, maka Pengendali Pekerjaan dapat menyetujui laporan itu dan memberikan salinan laporan kepada penyedia, pengawas pekerjaan, dan meneruskan laporan tersebut untuk diketahui oleh PPK. 

LANGKAH 4 : 
PPK menerima juga salinan laporan-laporan tersebut untuk diketahui dan dapat memberikan laporan yang telah di tandatangani oleh PPK untuk diberikan salinannya kepada Pengendali Pekerjaan. 

Gambar 2. Alir Laporan Pengawasan terhadap Hasil Pekerjaan Konstruksi

Khususnya pada bagian ini lebih banyak dibahas tentang laporan yang menjadi tanggung jawab dari Pengawas Pekerjaan. Penyedia memberikan laporan sebagai acuan kepada Pengawas Pekerjaan. 

LANGKAH 1 : 
Pengawas Pekerjaan dalam hal ini adalah Konsultan Pengawas wajib membuat laporan progres pekerjaan berupa, laporan mingguan, laporan bulanan, laporan khusus, dan laporan akhir. Laporan ini kemudian diserahkan kepada Pengendali Pekerjaan untuk disetujui.

LANGKAH 2 : 
Apabila laporan tersebut belum benar, maka Pengendali Pekerjaan dapat mengembalikan laporan tersebut agar dapat direvisi terlebih dahulu dan diajukan kembali. Jika Laporan tersebut sudah benar, maka Pengendali Pekerjaan memberikan persetujuan dan menandatangani laporan tersebut dan diberikan kembali kepada Pengawas Pekerjaan dan diberikan juga salinan kepada PPK untuk diketahui. 

Gambar 3. Laporan Pelaksanaan Pengawasan


Khususnya pada bagian ini lebih banyak dibahas tentang laporan yang menjadi tanggung jawab dari Pengawas Pekerjaan atau konsultan pengawas. 

LANGKAH 1 : 
Pengawas Pekerjaan membuat Laporan berkala, Laporan Bulanan, Laporan Khusus, dan Laporan Akhir kemudian diserahkan kepada Pengendali Pekerjaan dan PPK. 

Gambar 4. Laporan Kepala Satker/PPK ke atasan Langsung


Khususnya pada bagian ini lebih banyak dibahas tentang laporan yang menjadi tanggung jawab dari Pengendali Pekerjaan yaitu Direksi Lapangan/Konsultan MK. 

LANGKAH 1 : 
Kontraktor dan Pengawas Pekerjaan Memberikan laporan Pelaksanaan dan Laporan Pengawasan kepada Pengendali Pekerjaan sebagai Acuan. Kemudian Pengendali Pekerjaan membuat laporan pengendalian untuk diserahkan kepada KASATKER/PPK untuk diperiksa. Apabila laporan tersebut belum benar, maka PPK dapat mengembalikan laporan itu kepada Pengendali Pekerjaan untuk direvisi dan diserahkan kembali. Namun apabila laporan tersebut sudah benar, maka PPK langsung dapat meneruskan laporan tersebut kepada Atasan misalnya ada PA/KPA untuk diperiksa. 

LANGKAH 2 : 
Apabila Atasan Langsung melihat bahwa laporannya belum benar, laporan tersebut dapat dikembalikan kepada Pengendali Pekerjaan untuk kemudian direvisi kembali dan melalui proses pada langkah ke 1. Namun apabila laporan tersebut sudah benar, maka laporan tersebut kemudian disimpan sebagai arsip oleh Atasan Langsung. Laporan yang disimpan haruslah laporan asli yang merupakan tanda tangan basah dari setiap pihak. 

Gambar 5. Matrik Pelaporan Dalam Rangka Penjaminan Dan Pengendalian Pekerjaan Konstuksi


Pada matrik diatas kita bisa melihat dengan jelas tugas pokok dan fungsi dari setiap pihak yang terlibat dalam suatu pekerjaan konstuksi khususnya dalam menyiapkan laporan-laporan agar administrasi menjadi lebih baik dan menjamin keamanan dan kenyamanan setiap pihak. Sekian dan Terimakasih !! 

Jefri Harjawinata tanggal : Oktober 13, 2021 0 komentar
Berbagi

Pentingnya Mengenal Pre Construction Meeting (PCM) Dalam Pekerjaan Konstruksi

Pentingnya Mengenal Pre Construction Meeting (PCM) Dalam Pekerjaan Konstruksi


Kali ini kita akan membahas mengenai PCM atau Pre Construction Meeting atau rapat pra pelaksanaan pekerjaan yang tidak boleh disepelekan dalam pekerjaan konstruksi, karena dalam pelaksanaan proyek dapat mengatasi kendala-kendala dilapangan.

Rapat persiapan pelaksanaan pekerjaan (pre construction meeting) merupakan pertemuan yang diselenggarakan oleh unsur-unsur yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan seperti pihak Direksi Pekerjaan sebagai unsur pengendalian, Direksi Teknis sebagai pengawas teknis, dan penyedia jasa sebagai pelaksana pekerjaan, wakil masyarakat setempat dan instansi terkai guna menyamakan presepsi tersebut seluruh dokumen kontrak dan membuat kesepakatan tersebut hal-hal penting yang belum terdapat dalam dokumen kontrak maupun kemungkinan-kemungkinan kendala yang akan terjadi dalam pelaksanaan pekerjaan.

Pelaksanaan PCM harus diselengarakan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterbitkannya SPMK / Surat Perintah Mulai Kerja. Rapat PCM dituangkan dalam Berita Acara dan ditanda tangani oleh 3 (tiga) pihak; Direksi Pekerjaan, Wakil Direksi Pekerjaan dan Penyedia jasa. Berita Acara Rapat Persiapan Pekerjaan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Dokumen Kontrak yang berlaku.

Hal-hal yang perlu dibahas dan disepakati dalam rapat persiapan pelaksanaan konstruksi antara lain:


  • Stuktur organisasi proyek;
  • Penyamaan presepsi tentang pasal-pasal yang tertuang dalam dokumen kontrak;
  • Usulan-usulan perubahan mengenai isi dalam pasal-pasal dokumen kontrak;
  • Pendekatan kepada masyarakat dan pemerintah daerah setempat mengenai rencana kerja;
  • Pembahasan prosedur administrasi penyelenggaraan pekerjaan;
  • Presentasi penyedia jasa dalam rencana penanganan pekerjaan melalui program untuk penyedia jasa (Rencana Mutu Kontrak);
  • Presentasi Konsultan Pengawas tentang prosedur pengawasan pekerjaan berdasarkan uraian kegiatan pekerjaan penyedia jasa;
  • Pembahasan kendala yang diperkirakan akan timbul, dan rencana penangananya;
  • Penetapan masa berlaku ijin kerja (request) dan pemaparan metode kerja yang akan digunakan;
  • Masalah-masalah lapangan terkait metode pekerjaan;
  • Rencana pemeliharaan dan pengaturan lalu lintas;
  • Pembahasan tentang tanggungjawab masing-masing unsur yang terkait dalam pelaksanaan pekerjaan;
  • Pembahasan tentang pembayaran prestasi pekerjaan dan syarat-syarat yang diusulkan untuk pelaksanaan pembayaran;
  • Fasilitas pendukung yang akan diberikan oleh pemberi pekerjaan (SATKER); dan
  • Hal-hal yang belum jelas tertuang dalam kontrak.


Apabila saat pelaksanaan PCM, keberadaan konsultan supervisi belum tersedia di lapangan, maka Rapat Persiapan Pekerjaan tetap dilaksanakan, Berita Acara Rapat Persiapan Pekerjaan harus disampaikan oleh konsultan supervisi untuk dipedomani.

Dalam hal konsultan supervisi memiliki pandangan yang berbeda dengan hasil Rapat Persiapan Pekerjaan yang telah ditetapkan, maka persamaan presepsi dapat dilakukan pada rapat-rapat koordinasi yang dilaksanakan pada tahap selanjutnya.

Demikian pembahasan mengenai rapat pra pelaksanaan pekerjaan atau pre construction meeting (PCM). Semoga bermanfaat.

Jefri Harjawinata tanggal : Oktober 13, 2021 0 komentar
Berbagi

Kamis, 07 Oktober 2021

Cara Membuat Jadwal Pelaksanaan Pekerjaan (Kurva S) dengan Benar

Rekan-rekan sekalian mungkin istilah “Jadwal Pelaksanaan Pekerjaan” atau yang biasa disebut Schedule sudah tidak asing lagi bagi pelaku Proyek. Schedule merupakan suatu urat nadi sebuah pelaksanaan proyek yang apabila kontraktornya adalah pelaku utama yang berbackground ahli Teknik Sipil. Schedule juga dianggap sebagai master system dalam pelaksanaan suatu proyek konstruksi untuk mencapai target-target yang telah ditetapkan.

Tak dipungkiri pada saat ini banyak schedule pada proyek-proyek kecil dibuat dengan sembarangan dan seadanya padahal schedule merupakan tolak ukur suatu kinerja kontraktor dalam menyelesaikan pekerjaan dalam uraian item pekerjaan yang termuat dalam BOQ.

(Gambar 1 : Contoh Time Schedule Pekerjaan Jembatan)

Rekan-rekan sekalian yang harus kita pahami dan kenali dulu ada dua macam dan jenis Schedule (Jadwal Pelaksanaan Pekerjaan).

  • Jadwal Pelaksanaan (Schedule) Dokumen Penawaran Tender
  • Jadwal Pelaksanaan (Schedule) Pelaksanaan Proyek Pada Realisasi Aktifitas Proyek

Perbedaan dari kedua schedule itu sangatlah berbeda namun mempunyai kesamaan yang sangat dekat. Perbedaannya adalah jika pada Schedule Dokumen Penawaran tender maka schedule dibuat dengan tanpa mengisi jelas Minggu dan bulan dikarenakan untuk jadwal pekerjaannya bersifat asumsi. Sedangkan untuk schedule realisasi pekerjaan proyek, maka seluruh komponen schedule mulai dari uraian item pekerjaan, nama minggu, nama bulan sampai penanda tangan dan penanggung jawab di isi dengan real/asli sesuai dengan kontrak kerja kontraktor tersebut. Dan dalam schedule real proyek dibuat mengikuti dengan target pencapaian kerja dengan memperhatikan faktor cuaca dan juga potensi keadaan tersedia/langka material proyek.

Pada postingan kali ini saya akan mencoba untuk menguraikan cara membuat Schedule dalam dokumen penawaran tender. Untuk schedule realisasi proyek akan kita bahas dan kupas pada postingan selanjutnya. 

(Gambar 2 : Contoh Time Schedule Pekerjaan Bangunan Gedung)

Jadwal pelaksanaan pekerjaan (schedule) adalah salah satu item yang wajib ada dan dilampirkan dalam dokumen penawaran tender, jika item schedule tidak disampaikan maka dengan otomatis dokumen penawaran akan gugur dengan sendirinya. Cara membuat schedule ini pun terbilang cukup mudah tapi tunggu dulu jika hanya membuat schedule dengan tanpa analisa uraian pekerjaan secara baik maka mungkin schedule bisa terbuat dengan cantik tapi isi dari schedule tersebut tidak ada yang sinkron sehingga secara analisa teknis schedule tersebut tidak memenuhi syarat, wal hasil tidak menggambarkan dengan baik kemampuan calon pelaksa sehingga dokumen penawaran akan gugur.

Pada pembahasan kali ini saya akan menyajikan Schedule dengan bentuk durasi pekerjaan adalah per minggu. Schedule bisa dibuat dalam tampilan Perhari, Per minggu dan per bulan tergantung format yang diinginkan dan diwajibkan.

Seperti contoh item pekerjaan dalam pekerjaan Konstruksi Bangunan Gedung :

  Pekerjaan  Beton Bertulang Pedestal pondasi

  Pekerjaan beton bertulang pondasi tapak

  Pekerjaan beton bertulang Sloof 30x20

  Urugan kembali galian tanah

  Pekerjaan pondasi batu kali/gunung


Bagaimana cara membuat Schedule yang benar jika ada durasi masa kerja satu bulan ?

Pertama

Kita harus menentukan dulu riwayat kerja dengan urutan rasional kerja yaitu mengurutkan setiap langkah kerja untuk setiap item pekerjaan, misal seperti uraian item diatas yaitu :

  Pekerjaan beton bertulang pondasi tapak

  Pekerjaan Beton Bertulang Pedestal pondasi

  Pekerjaan pondasi batu kali/gunung

  Urugan kembali galian tanah

  Pekerjaan beton bertulang Sloof 30x20

Nah secara teknis kita menganalisa item pekerjaan mana yang harus dilakukan terbih dahulu dan item mana saja yang bisa dilakukan secara bersamaan hal ini sesuai dengan konsep yang namanya Network Planning.


Dari uraian diatas bisa kita lihat bahwa :

Pekerjaan pondasi tapak adalah pekerjaan yang paling dasar yang harus dimulai kemudian setelah pondasi tapak selesai maka dilanjutkan dengan pekerjaan pedestal dan setelah pekerjaan pedestal selesai baru per unit baru dilakukan pekerjaan pemasangan pondasi batu kali untuk pasangan pondasi batu kali dimulai pada titik pedestal telah selesai. Setelah pondasi batu kali selesai baru dilakukan urugan galian tanah kembali dan bersamaan dengan pekerjaan sloof.

Sumber : Google.com

Sekarang pertanyaannya darimana unsur durasi / masa pelaksanaannya ? seperti item pekerjaan pondasi tapak yang masa pelaksanaan adalah seminggu ?. ada yang bisa lebih menjelaskan yok kita diskusi dalam kolom komentar.

Bagi saya secara teknis untuk menentukan durasi/masa pelaksanaan suatu item pekerjaan itu harus dihitung dengan yang namanya Analisa Teknis. Namun ada juga rekan-rekan yang membuat schedule yang durasi kerja nya besifat dari asumsi dan perkiraan saja. Tetapi untuk akurasi datanya lebih baik dibuat berdasarkan hitungan dari analisa teknis. Didalam analisa teknis nanti akan didapatkan durasi/masa kerja sampai dengan kapasitas pekerja dalam sehari. Untuk pembahasan Analisa teknis akan kita bahas pada postingan selanjutnya ya rekan-rekan.

Dari uraian tampilan schedule diatas bisa kita simpulkan bahwa :

  1. Pekerjaan beton bertulang pondasi tapak

    Pekerjaan yang pertama dan utama dilakukan dengan durasi kerja dibawah 1 minggu


 2. Pekerjaan Beton Bertulang Pedestal pondasi

    Pekerjaan yang kedua dilakukan setelah pek. pondasi dengan durasi kerja juga dibawah 

    1 minggu dengan asumsi dibawah 1 minggu maka dibulatkan menjadi 1 minggu


 3. Pekerjaan pondasi batu kali/gunung

    Pekerjaan ini dilakukan setelah pekerjaan pedestal dikerjakan dengan durasi pekerjaan 

    dibawah 2 minggu dan pekerjaan nya ber iringan dengan pekerjaan pedestal


 4. Urugan kembali galian tanah

    Pekerjaan ini dilakukan setelah alur pekerjaan pondasi pondasi batu kali selesai dan 

    dilakukan dengan beriringan


 5. Pekerjaan beton bertulang Sloof 30x20

    Pekerjaan ini dilakukan setelah pek. pondasi batu kali selesai dikarenakan posisi sloof 

    diatas pas. batu kali. untuk pekerjaan ini dilakukan ber iringan dengan pas. batu kali

Jefri Harjawinata tanggal : Oktober 07, 2021 0 komentar
Berbagi

Selasa, 05 Oktober 2021

LANGKAH – LANGKAH DALAM MENGURUS IMB DAN SLF

LANGKAH – LANGKAH DALAM MENGURUS IMB DAN SLF

 

Sumber Gambar : https://dpmptsp.palikab.go.id/

Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administrasi sesuai dengan fungsinya. Hal ini bertujuan untuk menjamin legalitas bangunan sehingga keberadaanya dilindungi oleh hukum. Persyaratan administasi juga menjadi bukti bahwa bangunan sudah sesuai dengan aspek teknis yang termuat dalam peraturan peraturan daerah yang berkaitan dengan RT/RW Kota/Kabupaten. Ketika akan mengajukan pemasangan jaringan listrik, telepon, atau air bersih, didalam surat permohonan tersebut harus disertakan juga bukti-bukti administrasi bangunan. Jika tidak memiliki bukti administrasi, bangunan tidak akan mendapatkan suplai air bersih dari PDAM, listrik dari PLN, atau telepon dari Telkom.

            Dokumen administrasi terdiri dari beberapa informasi yang meliputi status hak atas tanah, status kepemilikan, perizinan, dokumen perencanaan, dokumen pembangunan, dan dokumen pendaftaran. Status hak atas tanah adalah informasi mengenai status tanah yang akan didirikan bangunan. Status atas tanah ini dapat berupa sertifikat hak milik (SHM) atau hak guna bangunan (HGB). Bila statusnya berupa hak guna usaha (HGU) yang kepemilikannya dikuasai oleh pihak lain maka harus disertai izin pemanfaatan yang dinyatakan dalam perjanjian tertulis antara pemegang hak atas tanah dengan pemilik bangunan.

            Persyaratan administrasi bangunan Gedung terdiri dari izin mendirikan bangunan (IMB) dan sertifikat layak fungsi (SLF). Setiap masyarakat, baik perorangan, swasta, maupun pemerintah yang akan membangun bangunan Gedung, wajib memegang IMB dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan dan mengisi formulir yang disediakan oleh pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Tata Bangunan. Formulir tersebut dikembalikan setelah terlebih dahulu dipastikan memenuhi persyaratan administrasi yang terdiri atas status hak atas tanah dan status kepemilikan bangunan.

            IMB akan disetujui apabila kaveling yang akan dibangun memiliki status hak yang jelas, sebagai tanda bukti penguasaan atau kepemilikan tanah. Hal ini dapat dijelaskan melalui :

1.    Sertifikat Tanah,

2.    Surat keputusan pemberi hak penggunaan atas tanah oleh pejabat yang berwenang dibidang pertanahan,

3.    Surat kaveling dari pemerintah,

4.    Fatwa tanah atau rekomendasi dari Badan Pertanahan Nasional,

5.    Surat girik/petuk/akta jual beli yang sah dan disertai surat pernyataan pemilik bahwa tanah tidak dalam status sengketa serta diketahui oleh lurah setempat, serta,

6.    Surat kohir verponding Indonesia disertai pernyataan bahwa pemilik telah menempati lebih dari 10 tahun dan disertai keterangan pemilik bahwa tidak dalam status sengketa yang diketahui lurah setempat.

Persyaratan administrasi untuk bangunan Gedung adat, bangunan Gedung semipermanent, bangunan Gedung darurat, dan bangunan yang dibangun didaerah bencana ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai kondisi sosial dan budaya setempat. Hal ini dikarenakan fungsi-fungsi bangunan tersebut perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah agar kelayakan fungsi bangunan lebih terjamin.

 

A.     MENGUMPULKAN DATA DAN INFORMASI TENTANG BANGUNAN.

Agar dokumen perencanaan mudah mendapatkan izin bangunan, setiap perencanaan atau pemilik bangunan harus dapat mengumpulkan beberapa informasi menyangkut ketentuan yang berlaku di lokasi tersebut pada tahap awal perencanaan. Dengan demikian, perencana dapat memberikan jaminan bahwa produk perencanaan tersebut akan dapat dibangun dengan tidak bertentangan dengan persyaratan administrasi maupun teknis. Berikut ini adalah data-data informasi yang diperlukan.

1.    Fungsi bangunan Gedung yang diperbolehkan pada lokasi tersebut. Informasi ini dapat ditanyakan kepada dinas terkait (Dinas Tata Bangunan) di pemerintahan daerah di lokasi bangunan tersebut akan dibangun. Bila fungsi bangunan yang dibangun tidak sesuai dengan peruntukan, konsekuensi pertama adalah IMB tidak dapat diterbitkan oleh Pemda. Hal ini dikarenakan ketidaksesuaian fungsi terhadap lokasi dapat membawa dampak negative bagi pengguna bangunan. Misalnya, pembangunan hunian di lokasi bantaran sungai dan daerah rawan longsor yang akan berakibat pada bencana banjir dan membahayakan keselamatan pengguna bangunan. Demikian juga bila membangun hunian di Kawasan industry maka tempat tinggal akan terganggu oleh polusi udara yang ditimbulkan oleh industry di Kawasan sekitar rumah.

2.    Ketinggian bangunan yang diizinkan. Setiap daerah memiliki aturan ketinggian bangunan yang berbeda. Hal ini didasarkan pada ketentuan skyline kota atau kebutuhan lintasan pesawat udara. Ketentuan ini dapat diperoleh melalui Dinas Tata Bangunan. Akan Tetapi, bila Kawasan tersebut berada dekat dengan lapangan terbang maka harus menghubungi Dinas Perhubungan. Bila ketentuan tersebut tidak diperhatikan maka dinas yang bertugas memantau ketertiban bangunan akan membongkar kelebihan lantai bangunan yang telah dibangun. Sebagai gambaran, kasus ini sempat terjadi di kota Bandung. Sebuah hotel berbintang pernah dibongkar oleh dinas terkait akibat dibangun melebihi ketentuan ketinggian bangunan yang diizinkan. Pada tahap awal, kelebihan jumlah lantai tersebut tidak boleh digunakan/dihuni. Tentunya SLF untuk bangunan tersebut tidak dapat diterbitkan sehingga bangunan tersebut tidak dapat beroperasi sepenuhnya.

3.    Jika bangunan direncanakan berada di bawah muka tanah (basement) maka perlu diketahui jumlah lantai bangunan Gedung di bawah permukaan tanah yang diizinkan melalui ketentuan KTB. Seluruh informasi tersebut dapat dilihat dalam dokumen RTBL di daerah yang telah memilikinnya. Namun didaerah yang belum mempunyai RTBL, pihak perencana wajib mengajukan izin kepada Dinas Tata Bangunan setempat. Secara umum, luas lantai di bawah permukaan tanah sama dengan KDB yang diizinkan, kecuali pemerintah daerah tersebut membuat ketentuan lain.

4.    Untuk bangunan hunian, keberadaan ruang bawah tanah digunakan untuk fungsi Gudang dan area servis. Selain itu, ruang bawah tanah juga dapat digunakan sebagai ruang evakuasi Ketika terjadi bencana, walaupun hal ini tidak begitu lazim di Indonesia. Melihat perkembangan ke depan, ruang bawah tanah dapat digunakan sebagai ruang penampungan air hujan untuk cadangan air bersih Ketika musim kemarau.

5.    Garis sempadan dan jarak bebas minimum bangunan Gedung yang diizinkan.

6.    Koefisien dasar bangunan (KDB) maksimum yang diizinkan sesuai dengan lokasi dan luas lahan perencanaan.

7.    Koefisien lantai bangunan (KLB) maksimum yang diizinkan, dihitung dari luas lahan yang merupakan daerah perencaan.

8.    Koefisien daerah hijau (KDH) minimum yang diwajibkan.

9.    Koefisien tapak basement (KTB) maksimum yang diizinkan.

10. Jaringan Utilitas kota.

11. Keterangan lainnya yang terkait

12. Ketentuan khusus, misalnya pada kasus lokasi yang akan dibangun terletak pada Kawasan rawan bencana.

Dengan adanya pemenuhan terhadap persyaratan administrasi yang dilakukan oleh pemilik bangunan, pemerintah daerah berkewajiban melakukan pendataan bangunan Gedung yang dibangun di wilayahnya untuk menjamin terselenggaranya tertib pembangunan dan pemanfaatan bangunan tersebut.

Tahapan penting sebelum membangun adalah mendaftarkan hak atas tanah dengan mengurus  sertifikat ke kantor pertanahan. Untuk itu, diperlukan sertifikat, yang merupakan surat tanda bukti penguasaan tanah sebagai hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan (PP No. 24/1997, pasal 1 ayat 20). 

Jefri Harjawinata tanggal : Oktober 05, 2021 0 komentar
Berbagi

Selasa, 31 Agustus 2021

Konversi Harga Satuan Bahan Agar Sesuai Dengan Nilai Koefisien AHS

Konversi Harga Satuan Bahan Agar Sesuai Dengan Nilai Koefisien AHS


Pernahkah kalian menemui kesulitan dalam mengkonversi Harga Satuan Bahan agar sesuai dengan nilai koefisien yang terdapat dalam AHS? Kasus seperti ini biasanya bisa kita temui dalam menghitung Rencana Anggaran Biaya, yaitu saat akan membuat Analisa Harga Satuan. 

Saat membuat Analisa Harga Satuan, kita mempunyai nilai koefisien yang akan dikalikan dengan harga satuan bahan/tenaga. Nilai koefisien ini, ditentukan berdasakan satuan yang digunakan untuk menghitung Analisa Harga tersebut. Pada artikel ini kita akan mencoba membahas satu contoh kasus yang bisa bantu kita memahami bagaimana cara melakukan konversi satuan tersebut. 

Sebagai contoh, kita perhatikan dibawah ini adalah Analisa untuk pekerjaan pembuatan 1 m2 lahan produksi tebal 8cm beton f'c 14,5 MPa (K-175). Pada bagian 'Bahan' terdapat beberapa item bahan yang digunakan untuk pekerjaan tersebut yaitu Semen (Kg), Pasir Beton (Kg), Kerikil Beton (Kg), dan Air (Liter) dengan satuannya masing-masing. Terdapat juga nilai koefisien dan Harga Satuan dari masing-masing bahan yang digunakan.   

Konversi Harga Satuan Bahan Agar Sesuai Dengan Nilai Koefisein AHS
Sumber : http://jharwinata.blogspot.com/

Pada bagian kolom Harga Satuan, kita akan melakukan penginputan harga satuan berdasarkan harga setempat di daerah tempat pekerjaan akan dilaksanakan. Namun ternyata harga satuan yang kita dapatkan memiliki satuan harga yang berbeda.
Konversi Harga Satuan Bahan Agar Sesuai Dengan Nilai Koefisein AHS
Sumber : http://jharwinata.blogspot.com/

Apakah bisa langsung kita masukan nilai harga satuan tersebut kedalam Analisa Harga Satuan? Jawabannya TIDAK. Mengapa? Karena  nilai harga tersebut perlu dikonversi dulu sesuai dengan satuan yang akan digunakan, agar ketika nilai koefisien dikalikan dengan harga satuan tersebut, maka sudah sesuai dengan harga yang sebenarnya. Lantas, Bagaimana cara melakukan konversi harga satuan tersebut? 

Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mencari data Berat Jenis dari bahan atau material yang digunakan. Data Berat Jenis ini bisa kalian dapatkan di Google ataupun bisa kalian download di 'Pedoman Perencanaan Pembebanan Untuk Rumah dan Gedung/PPPURG 1987' yang juga menyediakan data berat jenis material. 

Berdasarkan Data tersebut, kita ketahui bahwa Berat Jenis dari setiap material adalah sebagai berikut : 
Konversi Harga Satuan Bahan Agar Sesuai Dengan Nilai Koefisein AHS
Sumber : http://jharwinata.blogspot.com/

Harga Terbaru didapatkan dari pembagian antara Harga Sebelumnya dibagi dengan Berat Jenis dari material. Nah.... pada bagian ini Satuan yang digunakan sudah sesuai dengan harga material tersebut. Sehingga langkah selanjutnya kita sudah dapat menghitung Analisa Harga Satuan tersebut. 

Konversi Harga Satuan Bahan Agar Sesuai Dengan Nilai Koefisein AHS
Sumber : http://jharwinata.blogspot.com/

Jumlah Harga didapatkan dari Harga Terbaru dikalikan dengan Koefisien. Setelah itu, kita lanjutkan perhitungan seperti pada umumnya menghitung Analisa Harga Satuan, yaitu Total Harga Tenaga ditambah dengan Total Harga Bahan. Nilai Total Tenaga+Bahan dikalikan profit 10-15% dan ditambahkan kedalam harga Total Akhir Analisa Pekerjaan. 

Semoga informasi ini bisa bermanfaat untuk kita semua, Terimakasih sudah berkunjung dan mendukung blog ini. Tulisan - tulisan di blog ini 100% original berasal dari admin, maka apabila anda ingin melakukan copywriting, tolong disertakan sumber dari blog ini. Apabila tidak, maka Copywriting harus bersedia dilaporkan kepada pihak google terkait plagiat dan pencurian hak cipta, sebab semua artikel yang ada di situs web ini, memiliki dasar hukum. Sekian dan Terimakasih, Salam Engineering  



Jefri Harjawinata tanggal : Agustus 31, 2021 1 komentar
Berbagi

Selasa, 10 Agustus 2021

Menghitung Kebutuhan Pemasangan Keramik

Haloo........ selamat pagi, siang, sore, dan malam untuk rekan-rekan semua dimanapun berada. Kita mau menjawab salah satu pertanyaan yaitu tentang bagaimana caranya menghitung kebutuhan keramik. Pada dasarnya menghitung kebutuhan keramik yaitu dengan mencari luasan pemasangan keramiknya terlebih dahulu. Untuk mencari luasan maka yang perlu kita ketahui adalah bentuk bidang lantai yang akan dikerjakan dan ukuran - ukuran dari bidang tersebut. Mari kita bahas satu contoh yang sangat sederhana dari perhitungan jumlah keramik pada pemasangan keramik lantai kamar mandi/Toilet. 

Menghitung Kebutuhan Keramik
Sumber : Google.com

Diketahui : 
Bentuk bangunannya adalah persegi. Panjang 2 meter dan Lebar 2 meter. 

Penyelesaian : 
Langkah pertama yang harus kita lakukan adalah menghitung luasan dari bidang tersebut. 

Luas    = Panjang x Lebar
            = 2 meter x 2 meter
            = 4 meter persegi

Naah.... Pada contoh ini, kita menghitung berdasarkan ukuran AS dari bangunan. Namun pada kenyataan sebenarnya luasan yang digunakan haruslah menggunakan luasan bidang dalam bangunan yaitu luasan bidang yang dikurangi pemasangan dinding. Tentunya Luasannya akan lebih kecil dibandingkan luasan yang menggunakan ukuran As to As. 

Langkah selanjutnya adalah mencari tau ukuran keramik yang akan digunakan. Misalnya kita akan menggunakan keramik 20x20 cm. Dalam 1 dus keramik ukuran 20x20 cm terdapat 25 buah keramik, artinya bahwa untuk 1 m2 dibutuhkan 25 buah keramik 20x20 cm. Maka sekarang kita bisa mengetahui kebutuhan keramiknya yaitu : 

Kebutuhan Keramik   = Luas Bidang x Jumlah Keramik 1 dus
= 4 x 25 buah
= 100 Buah atau 4 dus keramik 20x20 cm

Kemudian bagaimana cara menghitung kebutuhan biaya pemasangan keramik tersebut? Kita hanya perlu menggunakan analisa dari SNI terbaru untuk pemasangan keramik 20x20 cm, kemudian kita lanjutkan dengan menghitung volume x harga satuan. 

Menghitung Kebutuhan Keramik

Misalnya berdasarkan Analisa SNI, harga pemasangan keramiknya adalah Rp. 498.292,00. Maka dari data tersebut kita bisa mengetahui kebutuhan biayanya adalah : 

Kebutuhan Biaya Pemasangan Keramik 
= Volume x Harga Satuan 
= 4 m2 x Rp. 492.292,00
= Rp. 1.969.168,00

Sekian informasi yang bisa saya bagikan tentang bagaimana menghitung kebutuhan pemasangan keramik. Jadi kita sudah tau berapa kebuhan keramik bahkan sampai biaya yang harus kita keluarkan untuk memasang keramik tersebut. Terimakasih dan Semoga bermanfaat!!
Jefri Harjawinata tanggal : Agustus 10, 2021 0 komentar
Berbagi

Selasa, 27 Juli 2021

Menghitung Volume Fondasi Pasangan Batu Gunung

Pondasi adalah salah satu bagian terpenting yang ada pada konstruksi bangunan karena berfungsi sebagai penahan beban dan penyalur beban ke tanah. Fondasi ada beberapa jenis yang sering digunakan dalam pekerjaan konstruksi, namun berdasarkan kategori, fondasi dibagi menjadi dua jenis yaitu fondasi dangkal dan fondasi dalam. 

Salah satu fondasi dangkal yang digunakan untuk bangunan sederhana adalah fondasi menerus atau sering kita kenal juga dengan fondasi pasangan batu. Umumnya fondasi pasangan batu ini berbentuk trapesium dan menggunakan material batu gunung atau batu kali. Dalam perhitungan volume pondasi sering kali beberapa konsultan masih belum tepat dalam dalam menghitung volume pekerjaan, oleh sebab itu ini menjadi topik yang menarik untuk kita bahas bersama. 

Sebagai contohnya, kita akan menghitung volume dari pasangan batu pondasi berikut ini : 

Hitung Volume Fondasi

Seperti pada gambar diatas, ukuran yang kita ketahui dari pondasi adalah : 

Panjang Rencana Pondasi : 10 + 10 + 10 + 5 = 35 meter

Ukuran Pondasi :
Lebar Atas           : 30 cm (0,3 meter)
Lebar Bawah       : 60 cm (0,6 meter)
Tinggi Pondasi    : 50 cm (0,5 meter)

Langka pertama, kita cari dulu luasan dari penampang pondasi.  Karena bentuk pondasi adalah trapesium maka untuk mendapatkan luasan penampang, kita menggunakan rumus dari trapesium. 

Luas Pondasi adalah     
= [(Lebar atas + Lebar bawah)/2] x Tinggi
= [(0,3 + 0,6)/2] x 0,5
= 0,225 m2

Setelah mendapatkan luasan, langkah selanjutnya adalah menghitung volume dari pasangan pondasi tersebut. Untuk menghitung volume pondasi, kita hanya perlu mengkalikan luas penampang x panjang pondasi. Maka hasil dari volume pondasi tersebut adalah : 

Volume Pondasi adalah : 
= Luas Pondasi x Panjang Pondasi 
= 0,225 x 35 Meter 
= 7,875 m3 

Maka, dari hasil perhitungan diatas kita dapatkan bahwa volume pekerjaan pasangan batu fondasi adalah sebesar 7,875 m3. Setelah diketahui nilai kubikasinya, maka kita bisa mencari perkiraan harga kebutuhan untuk bahan maupun tenaga yang akan digunakan. Sekian dan Terimakasih, semoga bermanfaat !! 


Jefri Harjawinata tanggal : Juli 27, 2021 0 komentar
Berbagi

Kamis, 27 Mei 2021

Perbedaan Jasa Konsultan Perencana, Konsultan Supervisi, dan Kontraktor

Perbedaan Jasa Konsultan Perencana, Konsultan Supervisi, dan Kontraktor

Sebuah pertanyaan yang sering saya jumpai dalam diskusi saya dengan clien swasta ataupun orang yang awam dalam bidang konstruksi adalah Apa sih perbedaan antara konsultan dan kontraktor konstruksi?

Bagi rekan-rekan yang berkecimpung dibidang ini, pasti sudah sangat mengetahui jawaban atas pertanyaan ini, maka artikel ini dikhususkan untuk rekan-rekan yang awam dan ingin menggunakan jasa konsultan ataupun kontraktor dalam membangun/merenovasi bangunan tapi masih bingung jasa apa yang harus digunakan. Mari kita bahas apa perbedaan antara konsultan perencana, konsultan supervisi, dan kontraktor? 

KONSULTAN PERENCANA

Konsultan Perencana adalah Jasa perorangan ataupun badan usaha yang memberikan/menawarkan sebuah jasa dalam melakukan perencanaan pembangunan suatu konstruksi, baik itu merencanakan struktur, mekanikal, arsitektur, lanscape, rencana anggaran biaya (RAB) serta dokumen-dokumen pelengkap lainnya. 

Dalam suatu pekerjaan konstruksi, pihak owner atau pemberi tugas yaitu pemerintah ataupun swasta, biasanya akan mencari atau menggunakan jasa konsultan perencana untuk mewujudkan ide-ide yang dimiliki agar dapat dituangkan dalam suatu konsep bangunan yang dapat dilaksanakan sesuai dengan kaidah-kaidah teknis. Dan sesuai dengan nama jasa yang ditawarkan yaitu adalah Jasa Konsultan, maka perusahaan Jasa Konsultan adalah WAJIB orang teknik yang memahami ataupun ahli dalam bidangnya, misalnya itu adalah seorang Engineer Arsitek, Engineer Sipil, dan sebagainya. 

Adapun Tugas Konsultan Perencana, diantaranya yaitu : 

  • Mengadakan penyesuaian keadaan lapangan dengan keinginan pemilik proyek (bisa pihak swasta maupun pemerintah).
  • Membuat gambar kerja pelaksanaan. Membuat Rencana kerja dan syarat – sayarat pelaksanaan bangunan (RKS) sebagai pedoman pelaksanaan.
  • Membuat rencana anggaran biaya (RAB).
  • Memproyeksikan keinginan – keinginan atau ide – ide pemilik proyek ke dalam desain bangunan. Melakukan perubahan desain bila terjadi penyimpangan pelaksanaan pekerjaan dilapangan yang tidak memungkinkan untuk dilaksanakan.
  • Mempertanggungjawabkan desain dan perhitungan struktur jika terjadi kegagalan konstruksi. kemudian proses pelaksanaanya diserahkan kepada konsultan pengawas. Konsultan pengawas ini sendiri adalah orang/instansi yang menjadi wakil pemilik proyek di lapangan
Adapun Wewenang Konsultan Perencana, diantaranya yaitu : 
  • Mempertahankan desain dalam hal adanya pihak – pihak pelaksana bangunan yang melaksanakan pekerjaan tidak sesuai dengan rencana.
  • Menentukan warna dan jenis material yang akan digunakan dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi.

KONSULTAN SUPERVISI (PENGAWAS)

Konsultan Supervisi (Pengawas) adalah Jasa perorangan ataupun badan usaha yang memberikan/menawarkan sebuah jasa dalam melakukan pengawasan pembangunan suatu konstruksi, baik itu pengawasan struktur, mekanikal, arsitektur, lanscape, dll. 

Dalam suatu pekerjaan konstruksi, pihak owner atau pemberi tugas yaitu pemerintah ataupun swasta, biasanya akan mencari atau menggunakan jasa konsultan pengawas untuk mengawasi pekerjaan owner yang sedang berlangsung agar dapat dilaksanakan sesuai dengan kaidah-kaidah teknis. Dan sesuai dengan nama jasa yang ditawarkan yaitu adalah Jasa Konsultan, maka perusahaan Jasa Konsultan adalah WAJIB orang teknik yang memahami ataupun ahli dalam bidangnya, misalnya itu adalah seorang Engineer Arsitek, Engineer Sipil, dan sebagainya.

Adapun Tugas Konsultan Pengawas, diantaranya yaitu : 

  • Menyelenggarakan administrasi umum mengenai pelaksanaan kontrak kerja.
  • Melaksanakan pengawasan secara rutin dalam perjalanan pelaksanaan proyek.
  • Membuat laporan prestasi pekerjaan proyek berdasarkan laporan teknis dari konsultan perencana untuk dapat dilihat oleh pemilik proyek. 
  • Memberikan saran atau pertimbangan kepada pemilik proyek maupun kontraktor dalam pelaksanaan pekerjaan.
  • Memeriksa dan menyetujui gambar shop drawing yang diajukan oleh kontraktor sebagai pedoman pelaksanaa pembangunan proyek.
  • Memilih dan memberikan persetujuan mengenai spesifikasi, tipe dan merk yang diusulkan oleh kontraktor agar sesuai dengan harapan pemilik proyek namun tetap berpedoman dengan kontrak kerja konstruksi yang sudan dibuat sebelumnya. 
Adapun Wewenang Konsultan Pengawas, diantaranya yaitu : 
  • Memperingatkan atau menegur pihak pelaksana pekerjaan jika terjadi penyimpangan terhadap kontrak kerja. 
  • Menghentikan pelaksanaan pekerjaan pembangunan jika kontraktor tidak memperhatikan peringatan yang diberikan. 
  • memberikan tanggapan atas usul pihak kontraktor. 
  • Memeriksa gambar shop drawing, rencana anggaran biaya dan spesifikasi pelaksana proyek
  • Melakukan perubahan dengan menerbitkan berita acara perubahan. 
Konsultan pengawas biasanya dibutuhkan ketika pelaksanaannya pada proyek bangunan skala besar. Konsultan pengawas bisa masuk kedalam Managemen Konstruksi (MK), Namun perbedaannya adalah MK mengelola jalannya proyek dari mulai perencanaan, pelaksanaan, hingga akhir pekerjaan sedangkan konsultan pengawas hanya bertugas mengawasi jalannya fase pelaksanaan proyek pembangunan. 


KONTRAKTOR PROYEK

Kontraktor atau yang sering dikenal sebagai Pelaksana adalah suatu badan usaha yang digunakan/ditunjuk oleh owner untuk melaksanakan pekerjaan yang telah direncanakan oleh konsultan perencana. Apabila owner adalah pemerintah maka penunjukan pihak kontraktor dilakukan dengan melalui proses lelang/tender sedangkan apabila ownernya adalah swasta, maka pemilihan kontraktor dapat dilakukan secara personal ataupun berdasarkan track record perusahaan kontraktor tersebut. 

Adapun Tugas Kontraktor Pelaksana, diantaranya yaitu :

  • Mampu dalam memahami gambar desain, konsep dan spesifikasinya sebagai acuan dalam pelaksanaan pekerjaan. 
  • Menyusun kembali metode pelaksanaan konstruksi dan jadwal pelaksanaan pekerjaan bersama team kontraktor dan kemudian di konsultasikan dengan pihak owner serta unsur-unsur terlibat. 
  • Memimpin dan mengendalikan pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan persyaratan waktu, mutu, dan biaya yang sudah ditentukan. 
  • Membuat program kerja harian dan memberikan pengarahan kegiatan setiap hari kepada mandor/tenaga kerja. 
  • Membuat evaluasi dan membuat laporan hasil pelaksanaan pekerjaan dilapangan. 
  • Melakukan konsultasi dengan pihak konsultan pengawas, MK, maupun owner apabila terjadi perubahan dilapangan. 


Proses Pelaksanaan Pengawasan Pekerjaan Konstruksi Secara Langsung Dilapangan. 

Kontraktor sebagai pelaksana pekerjaan konstruksi akan mengerjakan proyek sesuai dengan kontrak yang telah dibuat antara owner dan kontraktor itu sendiri. Pihak kontraktor akan melaksanakan pekerjaan sesuai dengan spesifikasi teknis yang tercantum di dalam kontrak, dan menggunakan metode pekerjaan konstruksi yang telah direncanakan sebelumnya. Pada umumnya spesifikasi teknik sendiri merupakan produk dari konsultan perencana. Pihak kontraktor tidak diperbolehkan mengubahnya tanpa persetujuan terlebih dahulu. Bagian dari spesifikasi teknik mencakup Bill of Quantity (BOQ), Kerangka Acuan Kerja (KAK), Metode Pelaksanaan, dan dokumen kontrak harus dijadikan kontraktor sebagai pedoman pelaksanaan pekerjaan. 
Apabila dilapangan terjadi perubahan terhadap kontrak kerja, maka perlu dilakukan addendum tertulis yang disepakati oleh pihak-pihak yang terlibat dalam proyek tersebut. 

Agar proyek dapat berjalan dengan baik dan berhasil, maka diperlukan kerjasama yang baik antar pihak-pihak yaitu Owner, MK, Konsultan Perencana, Konsultan Pengawas, dan Kontraktor. Setiap pihak perlu menjalankan tupoksinya masing-masing dengan baik dan bertanggung jawab. 
Jefri Harjawinata tanggal : Mei 27, 2021 4 komentar
Berbagi

Minggu, 09 Mei 2021

Konversi Kuat Tekan Beton F'c (MPa) ke K (Kg/cm2)

Konversi Kuat Tekan Beton F'c (MPa) ke K (Kg/cm2)
Sumber : Google.com

Beton terkenal karena kekuatannya dalam menahan gaya tekan. Kuat tekan beton merupakan parameter dari mutu/kualitas beton tersebut. Untuk mengetahui kuat tekan dari beton tersebut, maka perlu dilakukan mix desain dan pengujian terlebih dahulu di laboratorium untuk mengetahui komposisi material yang akan digunakan sebagai material pendukung dari beton. 

Mutu beton sendiri, sering kita ketahui dengan sebutan f'c 25 MPa ataupun K-250. Lantas, apa yang dimaksud dengan beton dengan mutu f'c dan beton dengan mutu K ?

PERBEDAAN NOTASI DAN SATUAN MUTU BETON

Mutu beton dengan menggunakan notasi f'c merupakan pengujian beton yang dilakukan dengan menggunakan benda uji silinder dengan diameter 150mm dan tinggi 300mm sesuai dengan standar SNI 03-2847-2002 yang merujuk pada aturan ACI (American Concrete Institute). Hasil dari pengujian benda uji silinder, mendapatkan nilai f'c dengan satuan MPa ( MegaPascal). Jika kita rubah satuannya maka 1 MPa = 1 N/mm2

Konversi Kuat Tekan Beton F'c (MPa) ke K (Kg/cm2)
Sumber : Google.com

Sedangkan mutu beton dengan menggunakan notasi K (Karakteristik), merupakan pengujian beton dengan menggunakan benda uji Kubus dengan ukuran 15x15x15 cm yang mengacu kepada PBI 1971 yang merujuk pada standar Eropa. Hasil dari pengujian benda uji kubus ini, mendapatkan nilai K dengan satuan Kg/cm2. 

Konversi Kuat Tekan Beton F'c (MPa) ke K (Kg/cm2)
Sumber : Google.com


CONTOH KONVERSI MUTU BETON

Langkah yang paling tepat dan akurat dalam penentuan nilai kuat tekan adalah dengan melakukan pengujian langsung terhadap sampel benda uji tersebut dilaboratorium namun untuk mempermudah dalam perhitungan mix desain ataupun perencanaan suatu bangunan, maka nilai kuat tekan dapat disesuaikan dengan kebutuhan yang ada, dengan melakukan konversi kuat tekan beton. Sebagai contoh yang praktis yang sering digunakan dalam melakukan konversi kuat tekan beton adalah : misalnya nilai kuat tekan beton rencana yang ingin dicapai adalah K250 Kg/cm2, artinya benda uji yang digunakan harusnya menggunakan kubus berukuran 15x15x15 cm. Jika dalam tahap pelaksanaan ternyata pelaksana ataupun pengawas menggunakan sampel benda uji silinder, maka benda uji tersebut haruslah dikonversikan setelah melakukan pengujian sampel. 

Jika benda uji silinder dilakukan pengujian dan mendapatkan hasil f'c 25 MPa, apakah ini memenuhi persyaratan mutu beton tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari coba kita lakukan konversi sederhana dengan cara berikut ini : 

Hasil Pengujian Beton f'c = 25 MPa

Konversinya = 25 MPa / 0,83 = 30,120 MPa atau 300,120 Kg/cm2

Nilai konversi satuan untuk 1 MPa = 1 N/mm2 = 10 kg/cm2

Maka, dari perhitungan cara praktis diatas dapat disimpulkan bahwa nilai kuat tekan beton 25 MPa setara dengan nilai kuat tekan beton K-300. Artinya bahwa nilai kuat tekan beton tersebut sudah memenuhi persyaratan untuk digunakan. 

Apabila contoh kasusnya dibalik, maka kita dapat melakukan perhitungan dengan cara yang sama halnya dengan perhitungan diatas. Sebagai contoh, nilai kuat tekan yang ditentukan adalah K-300 maka jika dikonversi adalah : 

K-300 kg/cm2 setara dengan 300 x 0,83 = 249 kg/cm2 atau sama dengan 24,9 MPa

Nilai konversi satuan untuk 1 MPa = 1 N/mm2 = 10 kg/cm2


*Sebagai catatan penting yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut : 

- Untuk mengetahui kepastian komposisi campuran dan kualitas yang diinginkan, bisa dilakukan dengan uji laboratorium atau mix desain serta melakukan slump test. 

- Nilai praktis untuk padanan mutu beton antara PBI (satuan K) dengan mutu beton SNI (satuan MPa) adalah 0,83

- Nilai konversi satuan untuk 1 MPa = 1 N/mm2 = 10 kg/cm2

- Adapun tabel konversi beton yang dapat digunakan sebagai berikut : 

Konversi Kuat Tekan Beton F'c (MPa) ke K (Kg/cm2)
Sumber : Google.com


Jefri Harjawinata tanggal : Mei 09, 2021 1 komentar
Berbagi

Senin, 05 April 2021

Dasar Hukum Dan Pengertian Contract Change Order (CCO)

Contract Change Order, Apa Itu? Admin Teknik Wajib Tau
Sumber : Google.com

Dunia konstruksi merupakan pekerjaan yang kompleks, unik, dinamis, dan penuh dengan risiko juga ketidakpastian. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa akan terjadi perubahan pekerjaan selama pekerjaan berlangsung, baik itu perubahan kecil ataupun besar. Permintaan untuk melaksanakan perubahan ini disebut Contract Change Order (CCO). CCO bisa terjadi kapanpun, mulai dari awal, pertengahan, sampai akhir pekerjaan konstruksi. 

Terjadinya changer order dalam suatu proyek konstruksi, dapat memberikan dampak positif maupun negatif secara langsung maupun tidak langsung kepada penyedia ataupun pemilik pekerjaan. Perubahan pekerjaan yang signifikan dan berskala besar dapat sangat berpengaruh terhadap mutu atau kualitas dari pekerjaan, diantaranya yaitu pelaksanaan pekerjaan konstruksi akan mengalami perubahan dan tidak sesuai lagi dengan dokumen kontrak yang telah disepakati terlebih dahulu oleh kedua belah pihak, yaitu pemilik dan penyedia jasa. 

Contract Change Order, Apa Itu? Admin Teknik Wajib Tau
sumber : https://www.pengadaanbarang.co.id


APA ITU CONTRACT CHANGE ORDER (CCO) ? 

1. Pengertian CCO menurut Para Ahli :  

    "Soeharto (1995) mengatakan bahwa CCO adalah perubahan setelah kontrak ditandatangani"

    " Ibbs dan Allen (1995) mengatakan bahwa Changer Order didefinisikan sebagai setiap peristiwa yang menghasilkan modifikasi lingkup asli, waktu pelaksanaan, biaya dan kualitas". 

    " Fisk (2006) mengatakan bahwa perubahan kontrak (CCO) merupakan suatu kesepatakan antara pemilik dan kontraktor untuk menegaskan adanya perubahan-perubahan rencana dan jumlah kompensasi biaya kepada kontraktor yang terjadi pada saat pelaksanaan konstruksi, setelah penandatanganan kerja antara pemilik dan kontraktor". 

2. Pengertian CCO dalam lingkup Institusi dan Pemerintahan. 

Menurut American Institute of Architect (AIA), Contract Change Order adalah sebuah permintaan secara tertulis yang ditandatangani oleh arsitek, kontraktor, dan pemilik yang dibuat setelah kontrak diterbitkan, yang mempunyai kuasa untuk mengubah ruang lingkup pekerjaan atau melakukan penyesuaian terhadap nilai kontrak dan waktu penyelesaian pekerjaan". 

Contract Change Order (CCO) di dalam pelaksanaan Proyek Pemerintah didefinisikan sebagai perubahan secara tertulis antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Penyedia/Rekanan/Kontraktor untuk mengubah kondisi dokumen kontrak awal, dengan menambah atau mengurangi pekerjaan. 

3. Perbedaan Contract Change Order, Addendum, dan Amandemen.
Mengenal tentang definisi serta perbedaan CCO, Amandemen, dan adendum memang sangat penting sebelum mengetahui lebih lanjut mengenai dampak CCO terhadap kualitas proyek konstruksi. Berikut perbedaan dari ketiganya:
  • Contract Change Order (CCO) adalah permintaan perubahan kontrak yang nantinya digunakan sebagai kuasa untuk mengubah ruang lingkup pekerjaan. 
  • Amandemen adalah perubahan kontrak tanpa ada penambahan atau pengurangan klausul/pasal kontrak. Sifatnya hanya melakukan perubahan dengan menambah atau mengurangi pada alinea atau paragrap yang sudah ada sebelumnya. Amandemen dilakukan disebabkan adanya kesalahan administratif namun perlu dinyatakan dalam bentuk tertulis dan disepakati oleh para pihak. 
  • Adendum adalah perubahan kontrak dengan penambahan atau pengurangan klausul/pasal kontrak yang secara fisik terpisah dari perjanjian pokoknya namun secara hukum melekat pada perjanjian pokok itu.

Beberapa ahli berpendapat bahwa Amandemen dan Adendum merupakan istilah yang sama atau memiliki padanan arti. Kedua istilah ini memiliki arti adanya perubahan atau penambahan dan pengurangan. 

Sehingga dapat dikatakan bahwa Adendum dan Amandemen secara substantif tidak berbeda, hanya pemakaian kedua istilah tersebut lebih umum digunakan di salah satu topik, yakni addendum dipakai pada suatu perikatan/perjanjian atau kontrak, sedangkan amandemen dipakai untuk perubahan undang-undang atau dasar hukum tertulis. 

DASAR HUKUM CCO

Meskipun peraturan terbaru mengenai Pengadaan Barang/Jasa, Pepres 16/2018, telah terbit, akan tetapi yang berkaitan dengan perubahan kontrak masih mengacu pada Perpres 54/2010. Perpres 54/2010 Pasal 87 menjadi dasar hukum untuk pelaksanaan CCO, dengan karakteristik CCO sebagai berikut:

1.) Apabila terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara kondisi lapangan pada saat pelaksanaan pekerjaan, dengan gambar dan/atau spesifikasi teknis yang telah ditentukan di dalam Dokumen Kontrak, maka PPK bersama Penyedia Barang/Jasa dapat melakukan perubahan Kontrak yang meliputi antara lain:
  • Menambah atau mengurangi volume pekerjaan yang tercantum dalam kontrak;
  • Menambah dan/atau mengurangi jenis item pekerjaan;
  • Mengubah spesifikasi teknis dan gambar pekerjaan sesuai dengan kebutuhan lapangan/lokasi pekerjaan;
  • mengubah jadwal pelaksanaan;
  • Jika diperlukan untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan, CCO diizinkan untuk pekerjaan tambahan sehinggan kontraktor dapat melaksanakan pekerjaan tambah yang belum tercantum dalam kontrak. 
2.) Pekerjaan tambah dilaksanakan dengan ketentuan: tidak melebihi 10% (sepuluh perseratus) dari harga yang tercantum dalam perjanjian/Kontrak awal; dan harus tersedia anggaran untuk melaksanakan pekerjaan tambahan.

3.) Pihak Kontraktor dilarang mengalihkan pelaksanaan pekerjaan utama berdasarkan Kontrak, dengan melakukan subkontrak kepada pihak lain, kecuali sebagian pekerjaan utama kepada penyedia Barang/Jasa spesialis. Apabila melanggar, maka akan dikenakan sanksi berupa denda yang bentuk dan besarnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Dokumen Kontrak.

4.) Perubahan kontrak yang disebabkan masalah administrasi, dapat dilakukan sepanjang disepakati oleh kedua belah pihak

DAMPAK CONTRACT CHANGE ORDER (CCO)

Dampak dari CCO pada proyek konstruksi sangat besar jika tidak diantisipasi dengan baik. Contoh dampak langsungnya adalah alur kerja yang terganggu, meningkatnya biaya konstruksi karena adanya penambahan volume dan material serta penyesuaian waktu, penjadwalan ulang pelaksanaan setelah dilakukan perubahan pekerjaan, adanya konflik antara kontraktor dengan pemilik, dan lain sebagainya.

Secara umum dampak CCO bisa dibagi ke dalam lima kategori, yaitu : 

1. CCO berdampak pada waktu
Contract change order pada proyek konstruksi menjadi salah satu penyebab dari penundaan waktu akibat time overruns. Dampak yang berhubungan dengan waktu antara lain terlambatnya penyelesaian pekerjaan, keterlambatan logistik, material dan pesyaratan pengadaan terlambat, rework, demolition dan rencana ulang. 

2. CCO berdampak pada biaya
Dampak CCO yang berhubungan dengan biaya diantaranya penambahan biaya, penambahan biaya overhead, adanya dana kompensasi, adanya perubahan pada cash flow, hilangnya keuntungan dan adanya penambahan pembayaran bagi kontrakto

3. CCO berdampak pada produktivitas
CCO pekerjaan konstruksi akan mempengaruhi pada produktivitas antara lain penurunan produktivitas kerja baik pada peralatan maupun pada tenaga kerja manusia, adanya pemadatan pada jadwal pelaksanaan proyek. 

4. CCO berdampak pada meningkatnya tingkat risiko. 
CCO juga akan mengakibatkan dampak tingkat risiko terhadap pengerjaan proyek tersebut meningkat diantaranya kemajuaan proyek terhambat, berkurangnya kesempatan percepatan proyek, hilangnya float, meningkatnya sensitivitas pada keterlambatan, hambatan di lapangan/lokasi kerja dan gangguan-gangguan pada setiap pekerjaan.

5. Hubungan dampak CCO dengan lainnya. 
Adapun dampak lainnya dengan adanya CCO pada suatu proyek diantaranya rendahnya hubungan profesionalisme antara PPK dengan Penyedia, terjadinya klaim dan sengketa, rendahnya mutu dan kualitas pekerjaan, merusak nama baik kontraktor, dan terjadinya kondisi keamanan yang buruk.

Dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi dapat dipastikan akan terjadi CCO. CCO dilakukan agar suatu proyek dapat terselesaikan dengan tujuan memenuhi keinginan dan harapan pengguna jasa. Akan tetapi, di sisi lain apabila banyak terjadi CCO akan merugikan terhadap proyek konstruksi. Oleh karena itu diperlukan usaha untuk meminimalkan perubahan beserta dampak CCO, yakni harus ada pengelolaan/pengendalian CCO yang paling efektif dan tepat sasaran agar tercapai tujuan dari proyek konstruksi.


Sumber : https://www.pengadaanbarang.co.id/2019/08/contract-change-order-cco.html
Jefri Harjawinata tanggal : April 05, 2021 0 komentar
Berbagi
‹
›
Beranda
Lihat versi web

HALAMAN

▼

Copyright © Ilmu Dasar Teknik Sipil | Powered by Blogger
Design by Hardeep Asrani | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Distributed By Gooyaabi Templates